MUZARAAH DAN MUKHABARAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu Drs. Multazim M.HI
Oleh:
Rofi’atul Azizah
Rohmanu Muhammad
Moh. Imam Fauzi
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) IBRAHIMY GENTENG
GENTENG – BANYUWANGI
TAHUN 2014/2015
KATA PENGANTAR
Segala puji
hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan
rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah
ini, guna memenuhi tugas mata kuliah Fikih Muamalah.
Dan Kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengampu “Drs. Multazim M.HI” karena membimbing kami dalam menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.
Kami
menyadari keterbatasan kemampuan kami dalam penulisan makalah ini Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan bermanfaat
demi kesempurnaan makalah ini Hanya kepada Allah SWT kami memohon ampunan dan
rahmat-Nya semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin
Genteng, 8 april 2015
Rofi'atul Azizah
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................ ........................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ........................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... ........................... 1
C. Tujuan Masalah.......................................................................... ........................... 2
BAB II PEMBAHASAHAN
A.
Pengertian Muzara’ah dan
Mukhabarah.................................................................. 3
B.
Dasar Hukum Muzara’ah Dan
Mukhabaroh...................... ..................................... 4
C.
Pandangan Ulama Terhadap Hukum
Muzara’ah Dan Mukhabarah..... .................. 5
D.
Keabsahan Muzara’ah dan
Mukhabarah................................................................. 7
E.
Rukun dan Syarat Muzara’ah
dan Mukhabarah...................................................... 7
F.
Hikmah Muzara’ah dan
Mukhabarah ..................................................................... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................ ........................... 10
B.
Saran........................................................................................... ........................... 11
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Musaqah
ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar
dipeliharanya, dan penghasilan yang di dapat dari kebun itu dibagi antara
keduanya, menurut perjanjian antara keduanya sewaktu akad. Mukhabarah dan
muzara’ah adalah paroan sawah atau ladang yang benihnya bisa dari pemilik tanah
dan penggarap.
Memang
banyak orang yang mempunyai kebun, tapi tidak dapat memeliharanya, sedang yang
lain tidak memiliki kebun tapi sanggup bekerja. Maka dengan adanya peranturan
seperti ini keduanya dapat hidup dengan baik.
Dalam
muzara’ah dan mukhabarah, sering terjadi permasalahan dikalangan masyarakat,
meskipun ketentuan-ketentuan dan syarat sudah ada, tapi sering terjadi kesalah
fahaman antara pemilik tanah dengan penggarap dari segi hasilnya, karena hasil
yang diharapkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan juga
mengenai hal benih yang akan ditanam.
Dan
perjanjian paroan atau bagi hasil pertanian merupakan salah satu sarana tolong
menolong bagi sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dari
permasalahan seperti ini, penulis bermaksud dalam makalah ini, untuk
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan itu, supaya tidak
terjadi kesalah fahaman antara pemilik dengan penggarap.
- Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian muzaraah dan mukhabarah?
2. Apa
dasar hukum muzara’ah dan mukhabaroh?
3. Apa Pandangan ulama terhadap
hukum muzara’ah dan mukhabarah?
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut etimologi, muzara’ah
adalah wazan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah
memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah (melemparkan
tanaman), maksudnya adalah modal.
Sedangkan menurut istilah muzara’ah dan mukhabarah
adalah:
- Ulama Malikiyah; “Perkongsian dalam bercocok tanam”
- Ulama Hanabilah: “Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman hasilnya tersebut dibagi antara keduanya.
- Ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkan dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.
Muzara’ah secara istilah ialah
mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakan. Muzara’ah dan Mukhabarah memiliki makna yang
berbeda, tetapi dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa Muzara’ah
dan Mukhabarah ada kesamaan dan adapula perbedaanya. Persamaannya ialah
muzara’ah dan mukhabarah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah
menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya
ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut mukhabarah dan
bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah, disebut muzara’ah.
Munculnya pengertian muzara’ah dan
mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang
membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar
dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan
mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji.
Mengartikan sama dengan memberi ketentuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain)
yang hasilnya dibagi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata: Muzaraah merupakan asal dari ijarah (mengupah atau menyewa orang),
dikarenakan dalam keduanya masing-masing pihak sama-sama merasakan hasil yang
diperoleh dan menanggung kerugian yang terjadi.
Imam Ibnul Qayyim berkata: Muzaraah
ini lebih jauh dari kezaliman dan kerugian dari pada ijarah. Karena dalam
ijarah, salah satu pihak sudah pasti mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam
muzaraah, apabila tanaman tersebut membuahkan hasil, maka keduanya mendapatkan
untung, apabila tidak menghasilkan buah maka mereka menanggung kerugian
bersama.
- Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ
مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ
(رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk
khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian
dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim).
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ
كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا
هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya : Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak
mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami
dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu
berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW.
Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari).
عَنِ ابْنِ عُمَرَرَضِيَ الله ُعَنْهُمَاأَنَّ النَّبِيَّ ص م عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطٍ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ
ثَمَرٍأَوْزَرْعٍ
Dari ibnu Umar ra. “bahwasanya Nabi SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar
dengan syarat akan diberi upah separuh dari hasil tanaman atau buah-buahan yang
keluar dari lahan tersebut” (HR. Muttafaq Alaih).
- Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah
Dari Hadits di atas yang dijadikan
pijakan ulama untuk menunaikan kebolehan dan ketidak bolehan melakukan
muzara’ah dan mukhabarah. Sebagian ulama melarang paroan tanah ataupun ladang
beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas.
Ulama yang lain berpendapat tidak
ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini
dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alasan
Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas.
Adapun Hadits yang melarang tadi
maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti
kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu,
mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari
sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad
SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan
cara adil.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum
muzara’ah yang sahih adalah sebagai berikut:
- Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
- Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
- Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
- Menyiram atau menjaga tanaman.
- Dibolehkan menambah penghasilan dan kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
- Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah fasid adalah:
- Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
- Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
- Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya
- Habis Waktu Muzara’ah
Beberapa hal yang menyebabkan muzara’ah habis:
a. Habis
muzara’ah.
b. Salah
seorang yang akad meninggal.
c. Adanya uzur.
- Keabsahan Muzara’ah dan Mukhabarah
Yang tidak diperbolehkan dalam
Muzaraah dan Mukhabarah: dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang
tanah tertentu untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk
sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku
sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’
bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa
mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang
tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh
si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin
Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka
jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata,
“Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai
pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka
tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.”
Dari Hanzhalah juga, ia berkata,
“Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan
emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode
Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh
di pematang-pematang (galengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain.
Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini
musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh
sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti
dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.”
- Rukun dan Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
a) Rukun
Muzara’ah dan Mukhabarah
·
Pemilik dan penggarap sawah.
·
Sawah atau ladang.
·
Jenis pekerjaan yang harus
dilakukan.
·
Kesepakatan dalam pembagian hasil
(upah).
·
Akad (sighat).
b) Syarat
Muzara’ah dan Mukhabarah
Disyaratkan
dalam muzara’ah dan mukhabarah ini ditentukan kadar bagian pekerja atau bagian
pemilik tanah dan hendaknya bagian tersebut adalah hasil yang diperoleh dari
tanah tersebutseperti sepertiga, seperempat atau lebih dari hasilnya
- Pada muzara’ah benih dari pemilik tanah, sedangkan pada mukhabarah benih dari penggarap.
- Waktu pelaksanaan muzara’ah dan mukhabarah jelas.
- Akad muzara’ah dan mukhabarah hendaknya dilakukan sebelum pelaksanaan pekerjaan.
- Pembagian hasil disebutkan secara jelas.
- Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
Manusia banyak yang mempunyai
binatang ternak seperti kerbau, sapi, kuda, dan lainya. Dia sanggup untuk
berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki
tanah. Sebaliknya, banyak di antara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang, dan
lainya, yang layak untuk di tanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang
untuk mengolah sawah dan ladangnya, sehingga banyak tanah yang di biarkan dan
tidak dapat menghasilkan suatu apapun.
Muzara’ah dan mukhaharah
disyari’atkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bisa
dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang
juga di biarkan tidak ada yang mengolahnya.
Muzara’ah dan mukhaharah terdapat
pembagian hasil. Untuk hal-hal lainya yang bersifat teknis di sesuaikan dengan
syirkah yaitu konsep bekerja sama dalm upaya menyatukan potensi yang ada pada
masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan. Diantara hikmah
Muzara’ah dan Mukhabarah :
Ø Terwujudnya
kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
Ø Meningkatnya
kesejahteraan masyarakat.
Ø Tertanggulanginya
kemiskinan.
Ø Terbukanya
lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi
tidak memiliki tanah garapan.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
Mukhabarah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
- Dasar hukum yang dijadikan landasan Muzara’ah dan mukhabarah adalah hadits dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
- Hukum dari muzaraah dan mukhabarah ada yang bersifat sahih yaitu akad dari muamalah tersebut sesuai dengan ketentuan syara’ dan ada yang bersifat fasid (rusak) yaitu akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.
- Rukun muzara’ah dan mukhabarah : Pemilik dan penggarap sawah, sawah atau ladang. jenis pekerjaan yang harus dilakukan, kesepakatan dalam pembagian hasil (upah), akad (sighat). Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah ini ditentukan kadar bagian pekerja atau bagian pemilik tanah /buah dan