Kamis, 02 Juli 2015

FIQIH MUZARAAH DAN MUKHABARAH


MUZARAAH DAN MUKHABARAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu Drs. Multazim M.HI

Description: Description: F:\as.jpg







Oleh:
Rofi’atul Azizah
Rohmanu Muhammad
Moh. Imam Fauzi

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) IBRAHIMY GENTENG
GENTENG – BANYUWANGI
TAHUN 2014/2015


KATA PENGANTAR
Description: Description: F:\bismilla.JPG
Segala  puji  hanya  milik  Allah SWT.  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya penyusun  mampu  menyelesaikan  tugas  makalah ini, guna memenuhi tugas  mata kuliah Fikih Muamalah.
Dan Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengampu “Drs. Multazim M.HI” karena membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Kami menyadari keterbatasan kemampuan kami dalam penulisan makalah ini Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan bermanfaat demi kesempurnaan makalah ini Hanya kepada Allah SWT kami memohon ampunan dan rahmat-Nya semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin




Genteng, 8 april  2015


Rofi'atul Azizah






DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................ ........................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ........................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang....................................................................................................... 1
B.      Rumusan Masalah...................................................................... ........................... 1
C.      Tujuan Masalah.......................................................................... ........................... 2
BAB II PEMBAHASAHAN
A.    Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah.................................................................. 3
B.     Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh...................... ..................................... 4
C.     Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah..... .................. 5
D.    Keabsahan Muzara’ah dan Mukhabarah................................................................. 7
E.     Rukun dan Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah...................................................... 7
F.      Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah ..................................................................... 8
BAB III PENUTUP
A.     Kesimpulan................................................................................ ........................... 10
B.     Saran........................................................................................... ........................... 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang

Musaqah ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang di dapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian antara keduanya sewaktu akad. Mukhabarah dan muzara’ah adalah paroan sawah atau ladang yang benihnya bisa dari pemilik tanah dan penggarap.
Memang banyak orang yang mempunyai kebun, tapi tidak dapat memeliharanya, sedang yang lain tidak memiliki kebun tapi sanggup bekerja. Maka dengan adanya peranturan seperti ini keduanya dapat hidup dengan baik.
Dalam muzara’ah dan mukhabarah, sering terjadi permasalahan dikalangan masyarakat, meskipun ketentuan-ketentuan dan syarat sudah ada, tapi sering terjadi kesalah fahaman antara pemilik tanah dengan penggarap dari segi hasilnya, karena hasil yang diharapkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan juga mengenai hal benih yang akan ditanam.
Dan perjanjian paroan atau bagi hasil pertanian merupakan salah satu sarana tolong menolong bagi sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dari permasalahan seperti ini, penulis bermaksud dalam makalah ini, untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan itu, supaya tidak terjadi kesalah fahaman antara pemilik dengan penggarap.

  1. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian muzaraah dan mukhabarah?
2.      Apa dasar hukum muzara’ah dan mukhabaroh?
3.      Apa Pandangan ulama terhadap hukum muzara’ah dan mukhabarah?


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut etimologi, muzara’ah adalah wazan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal.
Sedangkan menurut istilah muzara’ah dan mukhabarah adalah:
  • Ulama Malikiyah; “Perkongsian dalam bercocok tanam”
  • Ulama Hanabilah: “Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman hasilnya tersebut dibagi antara keduanya.
  • Ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkan dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.
Muzara’ah secara istilah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Muzara’ah dan Mukhabarah memiliki makna yang berbeda, tetapi dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa Muzara’ah dan Mukhabarah ada kesamaan dan adapula perbedaanya. Persamaannya ialah muzara’ah dan mukhabarah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya  kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut mukhabarah dan bila modal dikeluarkan  dari pemilik tanah, disebut muzara’ah.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketentuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Muzaraah merupakan asal dari ijarah (mengupah atau menyewa orang), dikarenakan dalam keduanya masing-masing pihak sama-sama merasakan hasil yang diperoleh dan menanggung kerugian yang terjadi.
Imam Ibnul Qayyim berkata: Muzaraah ini lebih jauh dari kezaliman dan kerugian dari pada ijarah. Karena dalam ijarah, salah satu pihak sudah pasti mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam muzaraah, apabila tanaman tersebut membuahkan hasil, maka keduanya mendapatkan untung, apabila tidak menghasilkan buah maka mereka menanggung kerugian bersama.

  1. Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ
(رواه مسلم)
           Artinya: Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
           Artinya : Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari).

عَنِ ابْنِ عُمَرَرَضِيَ الله ُعَنْهُمَاأَنَّ النَّبِيَّ ص م عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطٍ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ
ثَمَرٍأَوْزَرْعٍ
           Dari ibnu Umar ra. “bahwasanya Nabi SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan syarat akan diberi upah separuh dari hasil tanaman atau buah-buahan yang keluar dari lahan tersebut” (HR. Muttafaq Alaih).

  1. Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah
Dari Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menunaikan kebolehan dan ketidak bolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Sebagian ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas.
Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alasan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas.
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah yang sahih adalah sebagai berikut:
  • Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
  • Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
  • Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
  • Menyiram atau menjaga tanaman.
  • Dibolehkan menambah penghasilan dan kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
  • Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah fasid adalah:
  • Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
  • Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
  • Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya
  •  Habis Waktu Muzara’ah
Beberapa hal yang menyebabkan muzara’ah habis:
a.       Habis muzara’ah.
b.      Salah seorang yang akad meninggal.
c.       Adanya uzur.
  1. Keabsahan Muzara’ah dan Mukhabarah
Yang tidak diperbolehkan dalam Muzaraah dan Mukhabarah: dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu  untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.”
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (galengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.”
  1. Rukun dan Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
a)      Rukun Muzara’ah dan Mukhabarah
·                     Pemilik dan penggarap sawah.
·                     Sawah atau ladang.
·                     Jenis pekerjaan yang harus dilakukan.
·                     Kesepakatan dalam pembagian hasil (upah).
·                     Akad (sighat).
b)      Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
           Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah ini ditentukan kadar bagian pekerja atau bagian pemilik tanah dan hendaknya bagian tersebut adalah hasil yang diperoleh dari tanah tersebutseperti sepertiga, seperempat  atau lebih dari hasilnya
  • Pada muzara’ah benih dari pemilik tanah, sedangkan pada mukhabarah benih dari penggarap.
  • Waktu pelaksanaan muzara’ah dan mukhabarah jelas.
  • Akad muzara’ah dan mukhabarah hendaknya dilakukan sebelum   pelaksanaan pekerjaan.
  •  Pembagian hasil disebutkan secara jelas.

  1. Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah 
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau, sapi, kuda, dan lainya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak di antara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang, dan lainya, yang layak untuk di tanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk mengolah sawah dan ladangnya, sehingga banyak tanah yang di biarkan dan tidak dapat menghasilkan suatu apapun.
Muzara’ah dan mukhaharah disyari’atkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga di biarkan tidak ada yang mengolahnya.
Muzara’ah dan mukhaharah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainya yang bersifat teknis di sesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalm upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan. Diantara hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah :
Ø  Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
Ø  Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Ø  Tertanggulanginya kemiskinan.
Ø  Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.




                                                            BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
    1. Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
    1. Dasar hukum yang dijadikan landasan Muzara’ah dan mukhabarah adalah hadits dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
    2. Hukum dari muzaraah dan mukhabarah ada yang bersifat sahih yaitu akad dari muamalah tersebut sesuai dengan ketentuan syara’ dan ada yang bersifat fasid (rusak) yaitu akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.
    3. Rukun muzara’ah dan mukhabarah : Pemilik dan penggarap sawah, sawah atau ladang. jenis pekerjaan yang harus dilakukan, kesepakatan dalam pembagian hasil (upah), akad (sighat). Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah ini ditentukan kadar bagian pekerja atau bagian pemilik tanah /buah dan


Zakat Fitrah

Zakat Fitrah
Disusun Oleh:
                                                                     Rofi'atul Azizah
I.                   Pendahuluan
Sebagaimana yang kita ketahui pada setiap Hari Raya Idul Fitri, setiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan, besar kecil, merdeka atau hamba, diwajibkan membayar zakat fitrah sebanyak 3,1 liter dari makanan yang mengenyangkan menurut tiap-tiap tempat ( negeri ).
Dari sedikit pemaparan diatas, disini pemakalah akan mencoba menjelaskan mengenai sejarah zakat fitrah, pengertian zakat, pengertian fitrah, pengertian zakat fitrah, siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat fitrah, orang-orang yang berhak menerima zakat, orang yang tidak berhak menerima zakat, waktu berlakunya kewajiban zakat fitrah, dan  kadar zakat fitrah yang wajib dikeluarkan.
II.  Pembahasan
Sejarah Zakat Fitrah
Selama 13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, Nabi Muhamad telah 13 kali mengalami Ramadhan, yaitu dimulai dari Ramadhan tahun ke-41 kelahiran Nabi yang bertepatan bulan Agustus 610 M, hingga Ramadhan tahun ke-53 dari kelahirannya yang bertepatan dengan bulan April tahun 622 M. Namun selama waktu itu belum disyariatkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum muslimin, dan Iedul fitrinya juga belum ada ataubelum disyariatkan.
Setelah Nabi hijrah ke Madinah, dan menetap selama 17 bulan di sana, maka turunlah ayat183-184 al-Baqarah pada bulan Sya'ban tahun ke-2 H, sebagai dasar disyariatkannya shaum bulan Ramadhan. Tak lama setelah itu, dalam bulan Ramadhan tahun itu pula mulai diwajibkan zakat kepada kaum muslimin, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar:
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan atas orang-orang sebesar 1 sha' kurma, atau 1 sha' gandum, wajib atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, dari kaum muslimin" . ( HR. Muslim ).
Zakat ini kemudian populer dengan nama zakat fitrah[1].
Pengertian Zakat:
Zakat berasal dari kata zaka yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, atau berkembang. Menurut terminologi syariat (istilah), zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah swt. Untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Firman Allah:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.  (Q.s. At-Taubah:103)
Maksud zakat membersihkan itu adalah membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.  Sedangkan maksud zakat menyucikan itu adalah menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan mengembangkan harta benda mereka.[2]
Pengertian Fitrah:
Dalam Alquran kata fitrah dalam berbagai bentuknya disebut sebanyak 28 kali, 14  di antaranya berhubungan dengan bumi dan langit. Sisanya berhubungan dengan penciptaan manusia, baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Sehubungan dengan itu Allah berfirman pada surat Ar rum ayat 30:
"Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama itu, yakni fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."
Pada ayat lain diterangkan kronologis peristiwanya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Q.s. Al-A'raf:172)
Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa sejak diciptakan manusia itu telah membawa potensi beragama yang lurus, yaitu bertauhid (mengesakan Allah). Keadaan inilah yang disebut al-fitrah. Sehubungan dengan itu Nabi saw. bersabda:
Setiap manusia dilahirkan atas fitrahnya, maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi. ( HR. Bukhari Muslim).
Selain menyebut istilah, Nabi pun menetapkan beberapa aturan zakat yang amat penting diperhatikan oleh kaum muslimin, sebagai berikut:
Pertama, muzakki Zakat Fitrah/yang terkena kewajiban
Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh setiap orang muslim. Bagi mereka yang berada dibawah tanggungan orang lain, maka zakatnya menjadi kewajiban penanggungnya, baik ia seorang pembantu rumah tangga, seorang dewasa, ataupun seorang kanak-kanak, bahkan bayi yang telah bernyawa, yang masih didalam rahim, semuanya wajib mengeluarkan zakat fitrahnya, baik dari hartanya sendiri, ataupun oleh penanggung yang bertanggung jawab atasnya.
Didalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari diterangkan:
Ibnu Umar mengatakan,"Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu sha' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-lakiperempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. Dan beliaumemerintahkan untuk ditunaikan  sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat ied. (HR. Bukhari Muslim).
Dengan kata-kata shagir (anak kecil) itu sudah tercakup didalamnya bayi yang masih berada didalam kandungan ibunya apabila usia kandungan itu telah mencapai umur 120 hari atau empat bulan.Sehubungan dengan itu Usman bin Afan membayar zakat fitrah bagi anak kecil,orang dewasa dan bayi dalam kandungan sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah:
Sesungguhnya Usman bin Afan memberikan zakat fitrah dari bayi yang dikandung. Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:432
Demikian pula diterangkan oleh Abu Qilabah:
Dari Abu Qilabah, ia berkata, "Adalah menjadi perhatian mereka (para sahabat) untuk mengeluarkan/memberikan zakat fitrah dari anak kecil, dewasa, bahkan yang masih dalam kandungan. H.r.Abdurrazaq, al-Mushannaf, III:319
Kedua, Mustahiq/Masharif(Sasaran) Zakat
Menurut Alquran, sasaran zakat atau yang lebih populer dengan sebutan mustahik (yang berhak menerima zakat) ada 8 ashnaf (golongan). Firman Allah:Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.s. At-Taubah:60).[3]
Pengertian Zakat Fitrah:
Zakat fitrah adalah zakat badan (bukan zakat yang berkaitan dengan harta seseorang) yang diwajibkan karena berakhirnya bulan Ramadhan. Bukhari dan Muslim merawikan dari Umar r.a., “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah, satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum atas setiap orang Muslim, budak merdeka, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa.
Siapa Saja yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah:
Zakat fitrah diwajibkan atas setiap Muslim yang memiliki persediaan makanan pokok melebihi keperluan dirinya sendiri dan keluarganya selama satu hari satu malam. Muslim yang memenuhi persyaratan tersebut, diwajiban mengeluarkan zakat fitrah atas nama dirinya sendiri serta nama setiap anggota keluarga yang wajib dinafkahinya baik dewasa maupun anak-anak, lelaki maupun perempuan.[4]
Orang-orang yang Berhak Menerima Zakat Fitrah:
Ada 8 ashnaf:
1. Fuqara(Fakir)
Orang yang tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupannya (primer).
2. Masakin (Miskin)
Orang yang mempunyai harta dan tenaga, tapi tidak mencukupi keperluan hidupnya (primer).
3. Amilin
Orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Mu'allaf
a.orang kafir yang ada harapan masuk Islam.
b.orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Riqab
orang yang memerdekakan hamba sahaya.
6. Gharimin
Orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan ma'siatan dan tidak sanggup membayarnya.
7. Sabilillah
Orang yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Islam (memelihara berlakunyakebenaran, kebaikan, dan keutamaan akhlak).
8. Ibnu Sabil
Orang yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, walaupun ia orang kaya di negerinya.
Orang-orang yang Tidak Berhak Menerima Zakat Fitrah:
Ada 5 Golongan:
1.      Orang kaya dengan harta atau kaya dengan usaha dan penghasilan.
2.      Hamba sahaya, karena mereka mendapat nafkah dari tuan mereka.
3.      Keturunan Rasulullah Saw.
4.      Orang dalam tanggungan yang berzakat.
5.      Orang yang tidak beragam Islam.
Waktu Berlakunya Zakat Fitrah:
Adalah saat terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Artinya, setiap Muslim yang ada pada waktu itu, termasuk bayi yang dilahirkan sejenak sebelum matahari terbenam, wajib mengeluarkan zakat fitrah atau dikeluarkan atas namanya.
Kadar Zakat Fitrah yang Wajib Dikeluarkan:
Menurut hasil penelitian para ahli, satu sha’ kurma sama dengan kira-kira 3 liter atau 2,4 kg beras.
III.             Kesimpulan
Zakat fitrah adalah zakat badan (bukan zakat yang berkaitan dengan harta seseorang) yang diwajibkan karena berakhirnya bulan Ramadhan. Orang-orang yang berhak menerima zakat yakni fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gahrimin, shabilillah dan Ibnu Sabil. Sedangkan yang tidak berhak menerima zakat yakni orang kaya, hamba sahaya, keturunan Rasul, orann dalam tanggungan yang berzakat, non Muslim. Berlakunya zakat yakni pada saat matahari terbenam di akhir bulan Ramdhan.
Daftar Pustaka
Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, cet. Ke 43 Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2009,
Al-Habsyi Bagir Muhammad, Fiqih Praktis I, PT Mizan Pustaka, Bandung.
Muchtar Saefullah Amin, Sejarah dan Syariat Zakat Fitrah.


[1] Muchtar Saefullah Amin, Sejarah dan Syariat Zakat Fitrah.
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Demikian itu menurut Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Dapatlah dibayangkan bahwa dengan persyaratan seperti itu (yakni kewajiban berzakat fitrah atas setiap orang yang memiliki kelebihan dari kebutuhan makannya untuk satu hari satu malam), maka hampir setiap orang Muslim, meskipun secara umum tergolong miskin, wajib mengeluarkan zakat fitrah.